Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2014

Cemara dan Perpisahan

Aku tak kuasa menyaksikan sirat di pelupuk matamu itu. Bulatan obsidian itu, mengapakah ia begitu kelabu? Ia tiada secerah pendar cahaya matahari esok kemarin melainkan merupa guratan-guratan mendung yang menaungi kita sore itu, sore di bulan Januari. Kita bertemu di sore itu. Kau tampak amat kelabu, kuyu, dan lesu. Segalanya tak ubahnya simbol kelemahan dan kegoyahan dirimu padaku. Air muka itu, bukankah ia hasil dari himpunan dan kumpulan memori masa lalu itu? Masa lalu? Tunggu, apa itu salahku? Pertemuan itu. Tepat di depan mataku, pada akhirnya tumpah jua dirimu. Buliran air mata itu enggan terbendung dan membanjir ke sudut matamu. Namun, lagi-lagi keadaanmu yang satu itu, selalu kau selingi dengan tawa ironimu. Tawa yang seakan bercitra bahwa semua ini baik-baik saja. Sebuah tawa yang juga jadi senjata milik manusia demi penyangkalan pada kelemahan.

Karena Kau Tahu

Aku tak pantas bila menyebutnya sebagai 'sempat memiliki'. Namun, hanya saja aku mensyukuri saat-saat itu, yang kini untuk kembali ke masa itu saja sepertinya kau sama sekali tak mengijinkanku, wahai engkau yang kukhidmati parasmu tiap ada waktu. Fragmen-fragmen yang terekam jelas dari sebuah masa yang mereka sebut masa lalu, potongan-potongan kenangan itu begitu kuat menyandera seluruh neuron di otakku. Aku ingat betul, sebuah perbincangan antara kau dan aku, sebuah jarak yang tak berjarak, setidaknya kala itu aku masih di dekatmu. Dekat.  Hingga pada suatu masa, kebodohanku akhirnya datang juga. Atau mungkin lambat laun akan seperti ini juga akhirnya? Entah. Pada suatu masa, seperti yang pernah kuungkapkan sebelumnya, kebodohanku akhirnya datang juga.  Aku menyukaimu.  Semuanya akan baik-baik saja andai kau tak tahu, semua masih akan tetap sama andai perasaan ini kusimpan rapat-rapat. Semuanya akan berada pada tempatnya --tak bergeser seincipun-- andai ka

[PUISI] Enyahlah Zaman Nestapa

tak zamannya, kami merupa layaknya Siti Nurbaya bukan eranya, kami dikesampingkan layaknya si nomor dua tak perlu lagi kami tempuh zaman nestapa sebuah zaman kala kami dikurung dalam sel tahanan sel tanpa jeruji yang diintai oleh manusia bermata sebelah yang menghakimi kami berkat kami wanita kami wanita, berkat Tuhan anugerahkan kami sebagai kaum hawa kami disebut Ibunda, berkat punya kasih sayang di luar nalar kami adalah ratu dengan sejuta pesona dinamakan putri, berkat punya daya pikat luar biasa kami adalah perempuan yang dahulu berteriak lirih dalam benak, “enyahlah zaman nestapa! enyah! enyah!” hai, Tuan, zaman nestapa itu kini telah sirna kami, kaum wanita, dan kau telah terpapar oleh rinai cahaya yang sama telah menapak pada ubin tanpa jenjang telah berada pada satu garis yang sama ya, Tuan, kini kita berdampingan**) **) Puisi yang diikutkan FLS2N sekolah tahun lalu, tapi gagal lolos. Tema : Emansipasi  

Tiga Pria

Rowena enggan terkungkung pada angan-angannya sendiri, yang tak lain dan tak bukan diciptakan oleh para makhluk Mars itu. Tiga pria yang masuk dalam pusaran hidupnya, tiga pria yang membuat Rowena sekuat tenaga untuk menjaga hatinya agar tetap rapat. Agar pintu hatinya tak mudah terbuka, karena sejujurnya ia belum mau tersakiti lagi. Rowena belum siap. Dan satu-satunya cara untuk membentengi organ vitalnya itu adalah menjaganya. Rowena akan menjaga hatinya. Pria pertama , sebut saja ia pria pembawa kenangan . Dengan sejuta kisah yang pernah mereka ukir berdua di masa lalu, sungguh untuk melupakan pria ini rasanya sulit setengah mati. Pria pembawa kenangan ini hadir dalam seluk beluk hari-harinya, mengumandangkan namanya setiap pagi, mencari celah untuk terus bercengkerama, hingga meninggalkan kata-kata manis yang tak pernah didengar Rowena sebelumnya. Untuk pertama kalinya, Rowena dicurahi perhatian sederas itu. Dan sang pria pembawa kenangan memainkan perannya dengan amat baik.