Aku tak
kuasa menyaksikan sirat di pelupuk matamu itu. Bulatan obsidian itu, mengapakah
ia begitu kelabu? Ia tiada secerah pendar cahaya matahari esok kemarin melainkan
merupa guratan-guratan mendung yang menaungi kita sore itu, sore di bulan
Januari.
Kita bertemu di sore itu. Kau tampak amat kelabu, kuyu, dan lesu. Segalanya tak ubahnya simbol kelemahan dan kegoyahan dirimu padaku. Air muka itu, bukankah ia hasil dari himpunan dan kumpulan memori masa lalu itu? Masa lalu? Tunggu, apa itu salahku?
Pertemuan itu. Tepat di depan mataku, pada akhirnya tumpah jua dirimu. Buliran air mata itu enggan terbendung dan membanjir ke sudut matamu. Namun, lagi-lagi keadaanmu yang satu itu, selalu kau selingi dengan tawa ironimu. Tawa yang seakan bercitra bahwa semua ini baik-baik saja. Sebuah tawa yang juga jadi senjata milik manusia demi penyangkalan pada kelemahan.
Pada sore itu, usai aku mengkhidmati sembab mata milikmu. Aku masih enggan berpaling dari elok paras itu, wajah yang begitu kukenal. Yang kutahu dengan benar isyaratnya, bahwasanya ia hendak menyemburkan ribuan kata, mengurai kalimat-kalimat yang terlalu lama dikubur dalam-dalam. Deretan aksara yang kau kunci rapat-rapat, hingga tanpa kau sadari, ia membusuk dan mati. Dalam kediamannya ia mati. Sebuah ucap yang tak terungkap.
Saat ini, kita hanya mampu terpaku pada situasi kikuk. Tempat semua kediaman tumbuh dan berkembang. Kediaman kita ialah suara hati yang berteriak lirih. Kita menyangkal dalam kebisuan. Kita berdebat dalam batin. Hati kita ini, bukankah ia sudah mati?
Di sore itu, di langit kelabu bulan Januari, tiada seorang pun yang mampu bersuara. Tiada yang mau merasakan getir yang baru saja kita rasakan. Kita berada di persimpangan, sementara kau dan aku memilih jalan yang berlainan. Kau dan aku tak lagi sama dan bersama, serta wajah pagimu itu tak melulu harus aku yang mengingat. Tiada lagi yang tersisa, melainkan sebatang pohon cemara yang khusyuk menyaksikan perpisahan kita, tepat dari ujung sana.**)
Comments
Post a Comment