![]() |
Source: noordinaryhomestead.com |
Bicara menyoal nasib, rezeki, dan jodoh ialah sesuatu yang abstrak. Apalagi menyoal jodoh, yang bagi saya ia terlampau sulit untuk diraih, diduga, maupun diprediksi. Yang mampu dilakukan saat ini ialah bertumpu pada pengharapan. Sebuah harapan bahwa salah satu dari mereka yang sempat berada dalam hidup saya adalah orang yang tepat, yang dikirim Tuhan dengan sebutan 'jodoh'.
Saya memang belum punya rentetan pengalaman kisah cinta penuh romansa, saya lebih memilih jatuh cinta sendirian, jatuh cinta diam-diam. Saya terlalu malu untuk mengutarakan, tak pernah berani menatap jendela matanya lebih jauh. Dan segala kediaman yang saya pilih membuat saya mencurahkan rasa melalui bisikan-bisikan doa yang tak pernah terucap keras-keras, kata dan harap yang tak pernah tersampaikan langsung. Saya terlampau takut hingga hanya mampu mengadu pada Tuhan dan meminta pada-Nya untuk memberi pertanda. Tanda yang mampu meyakinkan saya bahwa ia adalah masa depan saya.
Satu persatu, momen yang saya lalui, tanpa saya sadari beberapa di antaranya membuat saya ingin bertaruh pada Tuhan. Saya meminta pada-Nya, apabila ini dan itu terjadi maka ia adalah jodoh saya, atau ketika saya benar-benar meminta petunjuk di suatu malam, hingga pagi harinya saya menemukan jawabannya.
Namun benak saya sejatinya belum mau percaya, apa iya itu adalah pertanda yang Tuhan kirimkan? Apa bukan godaan setan saja? Meski saya ragu, pada titik itu saya merasa lega. Entah mengapa pesan itu seperti tersampaikan. Seperti sebuah pesan balasan untuk saya.
Tapi, keraguan itu masih ada. Hingga pada suatu ketika saya meminta hal yang sama pada Tuhan, apabila ini dan itu terjadi maka ia adalah jodoh saya. Benar saja, sesuatu itu terjadi di luar ekspektasi dan saya merasa bersyukur. Saya menerima apa yang saya panjatkan dalam doa saya kemarin malam.
Namun itu tak pernah cukup, saya masih merasa ragu. Karena bagi saya, ia masih terlampau abu-abu, terlalu dini untuk menjadi masa depan saya. Tapi, Tuhan, bagaimana mungkin saya masih saja meragukan pertanda kedua ini darimu? Meski kenyataannya, saya masih ragu.
Saya meragu dalam kediaman. Saya meragu dalam keadaan menerka sendirian. Saya meragu, karena meski sendirian, yang namanya sakit hati akan tetap terasa sakit. Dan saya enggan menyimpulkan segalanya terlalu dini. Saya belum cukup percaya hingga masa depan itu tiba tepat di hadapan mata saya. Saya akan terus mencari meski meragu. Berharap dan meyakinkan diri. Menghitung waktu ketika ia berubah menjadi apa yang disebut dengan masa depan.
Tuhan, sebelum itu terjadi, bolehkah aku terus meminta 1000 pertanda darimu? Yakinkan hamba-Mu ini tentang satu hal. Sesuatu yang masih enggan ia percayai sebelum waktunya tiba.
Comments
Post a Comment