![]() |
pic taken from: www.hdwallpapersinn.com |
Ia
selalu memandang layar ponsel. Berharap nama itu muncul disana. Berharap benda
itu bergetar dan mendentingkan bunyian yang ia nantikan.
Ia
selalu meluangkan waktu untuk melihat ke arah pintu. Berharap ada langkah yang
menuju ke situ dan berdiri di ambang pintu.
Selalu
begitu. Di setiap bintang bergerak sedikit demi sedikit. Di saat angin darat
mulai bertiup. Kala malam mulai mengambil alih senja. Gadis itu selalu saja
seperti itu.
“Bagaimana
kabarmu?” Gadis itu mengetik dengan cepat. Jarinya beradu menelusuri nama-nama
kontak di ponselnya. Tak ditemukan nama yang ia cari. Dahinya mengernyit. Namun
itu bukanlah masalah baginya. Ia sudah hafal betul nomor-nomor cantik itu di
luar kepala. Angka 13 digit itu selalu menempel di otaknya.
Ia
membaca pesan itu berulang-ulang hingga ia yakin akan mengirimkannya ke tempat
yang benar. Setelah menekan tombol ‘Kirim’, kemudian ia segera mengembalikan
benda itu tepat di sebelah bantalnya.
Harap-harap
cemas ia menanti balasan. Senyumnya merekah membayangkan bagaimana keduanya
akan saling berekspresi lewat telepon genggam.
Gadis
itu membayangkan bagaimana seseorang di ujung sana akan memberikan kata-kata
manis untuknya. Sekadar untuk memberi kabar seperti yang sering mereka lakukan
dahulu.
Awan-awan
imajinasi miliknya merupa sebuah motif batik mega mendung. Lekuknya indah
sekali. Penuh pengharapan dan kasih sayang dan tak lupa terdiri dari
serangkaian kenangan.
Satu
jam berlalu. Kini bukan lagi sebuah senyum yang terhias disana. Hanya ada
tatapan nanar ketika mata gadis itu menatap layar ponselnya.
Kosong.
Desktopnya masih saja sama. Desktop dengan latar belakang sebuah foto. Fotonya
dan lelaki itu. Ketika keduanya menghabiskan waktu di taman kota di hari Minggu
yang teduh.
Gadis
itu memandang layarnya lama sekali. Air mukanya perlahan berubah. Tatapan nanar
itu masih ada, diiringi dengan raut sedih yang mendalam. Satu persatu butiran
itu terjun dari kedua matanya. Di mulai dari indera sebelah kiri. Butiran itu
membuka jalur dan membasahi pipinya.
Isak
tangisnya tak dapat dibendung. Kini dengan teriakan yang membuncah, tangisan
itu pecah sejadi-jadinya. Deras, deras sekali. Air mata turun berliter-liter
dari sana. Sebuah kesedihan mendalam akhirnya luruh bersama isakan dan teriakan
yang memilukan.
Seseorang
masuk dari pintu. Menghampiri gadis itu yang mulai menangis dengan bertumpu
pada kedua lututnya. Bantalnya mulai basah. Sesekali benda empuk itu digigit
untuk menahan emosi dan isak tangisnya.
“Ran,”
seseorang itu memeluk gadis yang terus saja menangis. Seorang wanita dengan
raut muka yang ikut memelas melihat gadis di hadapannya.
Wanita
itu menyadari. Ada sesuatu yang membangkitkan emosi gadis kecilnya. Dilihatnya
telepon genggam di tangan Rana. Ya, foto itu pastilah menjadi penyebabnya.
“Rana,
dia sudah pergi.” Wanita itu memeluk anaknya erat. Membiarkan punggungnya basah
oleh kucuran air mata yang sepertinya butuh kran untuk menghentikan alirannya.
“Nggak,
Ma.” Rana mengelak, namun ia masih berada di pelukan ibunya.
Bermenit-menit
berlalu. Keduanya terbenam dalam isak tangis. Hingga perlahan Rana melepaskan
pelukannya dari sana.
“Mana
hape kamu?” Wanita itu melihat genggaman Rana yang masih erat pada ponsel di
tangannya.
Rana
menggeleng. Tak mau menyerahkan benda itu pada ibunya.
Ia
akhirnya mengambil paksa. Meski isak tangis Rana perlahan mulai muncul kembali.
Ia
menghapus foto-foto Rana dan lelakinya. Sesungguhnya sudah berulang kali wanita
itu melakukan hal yang sama. Ia menghapus nomor lelaki itu dari kontak di
ponsel Rana. Menghapus riwayat pesan keduanya. Namun wanita itu masih berbaik
hati dengan menyisakan beberapa foto agar Rana dapat mengenang lelakinya. Tapi
sepertinya kesedihan Rana belum sembuh. Hingga akhirnya wanita itu perlu
membuang semuanya jauh-jauh agar gadis itu sadar lelakinya telah pergi dan tak
mungkin kembali.
“Ran,
kamu nggak bisa seperti ini terus. Besok kamu harus ikut Mama ke dokter.”
Wanita itu meletakkan ponsel Rana di samping gadis itu. Kemudian pergi dan
menghilang dari balik pintu.
Rana
menatap pilu bayangan ibunya yang mulai menghilang. Ia kembali menatap layar
ponselnya. Tak ada lagi fotonya dan lelaki itu. Tak ada lagi pesan yang baru saja
dikirimkannya pada lelakinya. Semuanya hilang. Tak bersisa.
Namun,
sekiranya rangkaian kenangan tak jua musnah. Kenangan itu masih tersimpan rapi
di rak otaknya. Terhubung oleh berjuta-juta syaraf yang membuatnya terus
mengingat lelaki itu.
Langit
malam masih panjang. Ia membenamkan dirinya di bawah bantal. Dengan isak tangis
yang tersisa.
Gadis
itu tahu. Ia bukannya tak waras. Ia tidak gila. Ia hanya ingin bertemu
lelakinya. Setelah perjumpaan terasa langka di pelupuk mata. Gadis itu hanya
ingin lelakinya kembali. Itu saja.
Tangisnya
mulai terdengar. Pelan dan satu persatu. Malam itu ditutupnya di bawah bantal.
Di bawah perasaan dimana ia ingin sekali bertemu dengannya, mendengarkan suara
miliknya dan berharap ada lagi kesempatan untuk meluapkan perasaan di bawah
langit yang sama.
Rana.
Gadis itu merana tanpa lelakinya.
Comments
Post a Comment