Berkata bukan hanya tentang tingkah tetapi juga angan-angan. Andai aku jadi dia, selalu saja. Andai aku berbeda, masih saja diungkit. Padahal, semesta sudah menjanjikan banyak hal tentang menjadi dirimu sendiri.
"Ngapain kamu disini? Makhluk kayak kamu nggak cocok ada disini!" Ia dikerumuni oleh semua makhluk, Ah! mereka mengagung-agungkan namanya. Hingga ia sudah tak berpijak di tanah.
Yang satu lagi menunduk. Tak tahu harus bagaimana menghadapi makhluk yang sombong seperti yang ada di hadapannya.
Ia menunduk dan pergi.
Sesampainya di rumah. Berkacalah ia. Ah, menurutnya ia tak ada bedanya dengan makhluk sok yang ditemuinya tadi. Tapi, mengapa mereka mengerumuninya? Beda kami hanya sedikit, makhluk sok itu punya banyak kristal. Tak seperti dirinya, yang tak punya kristal-kristal itu. Ah, tapi ia punya kulit yang lebih halus daripada makhluk sok itu. Ah, Ibu! Ada apa?! Kenapa?! Aku juga ingin laku di hadapan mereka.
--
Raksasa besar itu mengambil sapu.
Ia tercengang, hanya mengintip dari balik lemari dapur. Ia, makhluk yang menyesal karena dirinya tak setenar makhluk sok itu.
Sapu itu menerjang kerumunan makhluk sok dan mereka yang ada di sekitarnya. Ijuk-ijuk itu menerjang mereka tanpa ampun. Tubuh makhluk sok itu tercerai berai. Kristal-kristal itu tersangkut bersama dengan ijuk.
"Duh, gulanya kok bisa tumpah, ya! Banyak semut ini! Duh," ujar raksasa itu.
Aku hanya mendengarkan. Ngeri melihat mereka tumpah ruah dan berteriak. Aku hanya bisa berdiam disini, berada di samping ibuku.
"Karena dia manis, nak," ujar ibuku lembut. Menyemangatiku, bahwa menjadi asin tak akan jadi rebutan semut seperti itu.
"Ngapain kamu disini? Makhluk kayak kamu nggak cocok ada disini!" Ia dikerumuni oleh semua makhluk, Ah! mereka mengagung-agungkan namanya. Hingga ia sudah tak berpijak di tanah.
Yang satu lagi menunduk. Tak tahu harus bagaimana menghadapi makhluk yang sombong seperti yang ada di hadapannya.
Ia menunduk dan pergi.
Sesampainya di rumah. Berkacalah ia. Ah, menurutnya ia tak ada bedanya dengan makhluk sok yang ditemuinya tadi. Tapi, mengapa mereka mengerumuninya? Beda kami hanya sedikit, makhluk sok itu punya banyak kristal. Tak seperti dirinya, yang tak punya kristal-kristal itu. Ah, tapi ia punya kulit yang lebih halus daripada makhluk sok itu. Ah, Ibu! Ada apa?! Kenapa?! Aku juga ingin laku di hadapan mereka.
--
Raksasa besar itu mengambil sapu.
Ia tercengang, hanya mengintip dari balik lemari dapur. Ia, makhluk yang menyesal karena dirinya tak setenar makhluk sok itu.
Sapu itu menerjang kerumunan makhluk sok dan mereka yang ada di sekitarnya. Ijuk-ijuk itu menerjang mereka tanpa ampun. Tubuh makhluk sok itu tercerai berai. Kristal-kristal itu tersangkut bersama dengan ijuk.
"Duh, gulanya kok bisa tumpah, ya! Banyak semut ini! Duh," ujar raksasa itu.
Aku hanya mendengarkan. Ngeri melihat mereka tumpah ruah dan berteriak. Aku hanya bisa berdiam disini, berada di samping ibuku.
"Karena dia manis, nak," ujar ibuku lembut. Menyemangatiku, bahwa menjadi asin tak akan jadi rebutan semut seperti itu.
Comments
Post a Comment