“Res, jangan bilang Yasmin, ya,” tutup
lelaki itu hati-hati.
Ia tengah menunggu di kursi panjang. Kaos branded, celana tiga perempat, tas
selempang berbahan kulit, sandal crocs
kuning dan sepasang kacamata. Lelaki itu tengah menikmati sebotol teh hijau
sembari memasukkan ponsel pintarnya yang baru saja ia gunakan untuk berbicara
dengan seseorang di ujung sana.
Bila kau menilik penampilannya, mungkin ia
tak terlalu pantas untuk berdiam diri di tengah hiruk pikuk bandara. Tanpa tas
ransel ataupun koper besar. Lelaki itu berjalan dengan santainya. Ya, benar
saja. Ia hanyalah seorang anak kelas dua SMA yang memanfaatkan libur Ujian
Nasional kakak kelas untuk kembali ke kampung halaman. Kembali ke kampung untuk
satu hal, untuk menemui satu orang. Seseorang yang selalu ingin ia tatap
langsung dalam diam.
Tak salah lagi, lelaki itu ialah seorang
pengelana cinta.
“Kamu kok
gaya!” Aku memandanginya. Kaos branded,
celana tiga perempat, tas selempang berbahan kulit, sandal crocs kuning dan sepasang kacamata.
“Kamu
jual opo maneh,Wan?” Aku mengamati
lelaki itu yang terduduk diam di depanku.
“Ini loh,” lelaki itu menyodoriku ponsel
layar sentuh miliknya. Ponselnya sama sepertiku. Hanya saja, miliknya memiliki
layar yang lebih besar beberapa inchi.
Sebuah foto sneakers dengan brand nike, warna
oranye berhighlight gold dengan latar belakang ubin keramik warna putih.
Aku mengangguk mengerti namun sekaligus
heran juga.
“Aku inget, kamu beli sepatu itu waktu di
Grand City. Iya, nggak sih?”
Wawan mengangguk.
“Daripada nggak kepake, mending didol.
Lumayan duitnya bisa buat pulang ke sini. Biar bisa ketemu Yasmin.”
Aku tersenyum melihat ketulusan lelaki di
depanku. Ia menatap seksama ruang kelas kosong di depannya. Membayangkan
bagaimana Yasmin dapat dipandangnya dari sini setiap hari. Andai saja itu bisa
terjadi. Setiap hari.
“Kamu mbalik
aja dulu, besok baru kasih surprise
buat Yasmin. Lagian kamu kesini kok pas mau maghrib begini,” tuturku setengah
menceramahi.
“Ya udah,Wan, aku pulang sek, ya. Ati-ati, jangan kelamaan ngelamun di sekolah. Banyak demitnya.”
“Iya, makasih Res! Ati-ati,” lambaian tangan
lelaki itu terlihat dari kejauhan.
--
“Kamu… mau kemana?” Gadis
itu terduduk manis di sebuah sofa bergaya amerika berwarna merah menyala.
Rambut sebahu miliknya dihiasi sebuah bandana hitam, sementara sebuah kaos
warna putih dipadu dengan celana jeans dan sebuah wedges menjadi pilihan outfitnya kala itu.
Wawan baru saja tiba di
ruang tamu. Matanya ikut tersenyum mengikuti alur lengkungan bibirnya kala
melihat perempuan itu hadir beberapa meter di depannya.
“Bandung,Yas,” Wawan
menyeret koper besarnya mendekat ke perempuan itu. Kemudian meletakkan benda
itu tepat di samping sebuah guci yang lebih mirip kuali.
“Hari ini?” Yasmin menatap
Wawan dan koper di sampingnya. Matanya membulat.
Wawan mengangguk, “iya,
kamu lupa,ya?”
Yasmin tak menjawab.
Keduanya diam. Wawan masih senyum-senyum sendiri memperhatikan Yasmin yang
terus membenarkan poni halus miliknya.
“Ya udah,Yas, aku
berangkat,ya.” Wawan bergerak, ia beranjak dari sofa. Sementara tatapan Yasmin
mengikuti pergerakan tubuh Wawan hingga keduanya bertemu pandang.
“Wan,” Yasmin ikut berdiri.
Kini, lelaki itu tepat berada di depannya.
“Jangan lama-lama,ya, Wan,”
pipi gadis itu memerah, menunduk menatap apapun yang ada di bawah.
Wawan tersenyum simpul,
memperhatikan gadis itu tanpa bisa mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
“Iya,” ucap Wawan lirih.
--
“Resi!
Wawan kok hari ini belum sms aku,ya?” Yasmin menyandarkan dirinya di kursi
kantin. Meneriakkan namaku seakan aku berada berkilometer di depannya.
Aku tahu
satu hal. Wawan telah berada di kota ini sejak kemarin. Dan seperti yang pernah
kau baca di adegan sebelumnya. Aku tak akan memberitahu Yasmin tentang hal ini.
“Udah 5
bulan aku nggak ketemu dia,Res,” ujar Yasmin sesaat setelah berhasil
menandaskan segelas nutrisari fruit &
veg.
Sudah
kesekian kalinya, aku mendengar Yasmin berujar tentang kata rindu mengenai
lelaki itu. Kedua sahabat yang kukenal sedari dulu, ketika mereka masih
malu-malu hingga sekarang jadi pasangan yang terbelenggu oleh sesuatu yang
orang orang namakan sebagai jarak.
--
Yasmin tak bergerak dari
kursinya. Ia masih saja risau, menantikan
pesan singkat Wawan yang tak kunjung datang. Aku memandangnya dengan tatapan
geli. Karena aku tahu, akan ada kejutan yang sebentar lagi menghampiri gadis di
depanku.
Mal
ini seperti mal-mal lain di Surabaya. Tak ada pohon seperti di hutan hujan
tropis, hanya ada beberapa pot yang diisi oleh tanaman. Tak ada batangan kayu
cemara atau pohon jati, yang ada hanya pilar-pilar dari besi atau aluminium
yang mengkilat-kilat. Hmm, yang ada hanya pilar-pilar kayu tepat di sebelahku
saat ini. Di sebuah kedai donat yang harganya cukup menguras kantong pelajar
sepertiku.
Aku
dan Yasmin tengah menantikan seseorang. Ah, lebih tepatnya aku yang menanti
Wawan, karena Yasmin bahkan tak tahu lelaki pujaan hatinya itu tengah berada di
balik pilar perak di ujung sana. Wawan terus saja mengamati pergerakan Yasmin
hingga ia perlahan muncul mendekat ke gadis itu.
“Yasmin,”
lelaki itu muncul tepat di belakang Yasmin. Ia tersenyum menatapku.
Yasmin
belum menyadari sebuah panggilan di belakangnya. Hingga terpaksa aku yang harus
membuatnya menoleh ke belakang.
“Ssst,Yas,
itu di belakang kamu,” Aku melihat Wawan yang memperhatikan punggung Yasmin
yang selalu ingin ia raih.
“Apaan,
sih,Res?” Gadis itu masih asyik dengan ponsel pintarnya. Membuka riwayat
pesannya dengan Wawan, yang tanpa disadari Yasmin, lelaki itu tengah
memfokuskan pandangan pada ponsel di tangan gadis itu.
“Ehem,
buka-buka sms aja, padahal orangnya udah ada disini,” Wawan berpindah posisi,
kali ini ia telah berada di depan Yasmin.
Yasmin
memperhatikan lelaki di depannya. Setengah tak percaya pada pemandangan yang
dilihatnya kini. Wajahnya memerah, gadis itu benar-benar tak habis pikir,
bagaimana mungkin lelaki ini bisa ada di sebuah kedai donat, di Tunjungan
Plaza, di Surabaya, dan bersamanya pula?! Bukankah kemarin lusa Wawan baru saja
bercerita tentang acara sekolahnya yang diadakan di Sabuga? Ah, entahlah, yang
jelas lelaki itu telah bersama wanitanya sekarang.
“Eh,
hei, Wawan?!” Yasmin beranjak dari kursinya, mengamati apakah lelaki ini hanya
kembaran kekasihnya semata.
“Kapan
pulang?” Yasmin benar-benar bersikeras menyembunyikan rasa kerinduannya di
depan Wawan.
Gadis
itu kembali duduk. Sementara Wawan mulai menatap bingung gadis di depannya.
“Kemarin
sore, ini buat kamu,Yas,” Wawan menyodorkan setangkai mawar merah pada gadis
itu. Aku hanya memperhatikan, sedikit menahan sebuah bongkahan tawa melihat
Wawan dapat berubah sebegini romantisnya demi seorang Yasmin.
“Makasih,
Wan,” Yasmin tersenyum cerah sembari menerima pemberian paling romantis yang
pernah ia terima.
Sore
kami dihabiskan dengan obrolan-obrolan sederhana. Dimulai dari cerita Wawan
yang sangat merindukan kota Pahlawan dan kulinernya ketika menginjakkan kaki di
kota Kembang. Lelaki itu selalu mencari tahu tek di sudut jalan, tapi jarang ia
temukan. Kadang jua, ia mencari lontong kupang, tapi nihil hasilnya.
Meski
hanya obrolan sederhana, aku melihat pancaran yang luar biasa dari mata
keduanya. Yasmin terlihat malu-malu, namun aku tahu ia sangat merindukan lelaki
di hadapannya. Begitu pula Wawan, yang rela melakukan apa saja demi menemui
gadis di hadapannya.
Setelah
puas dengan obrolan kami, aku memutuskan untuk memberikan waktu pacaran bagi
keduanya.
“Yas,Wan,
aku pamit,yo,”
“Naik
apa, Res?”
“Angkot,”
“Gapapa
naik angkot?”
“Gapapalah,
naik angkot itu wes biasa. Jangan terlalu elit, gitu, ah,Wan,” Aku tersenyum
meninggalkan dua sejoli itu terduduk disana.
“Jalan-jalan,yuk,Yas!”
Wawan beranjak dari tempat duduknya.
Gadis
itu hanya mengangguk. Sementara lelaki di depannya dengan percaya diri
menggamit tangan Yasmin. Gadis itu tersipu. Jiwanya sudah melayang entah kemana.
Untuk pertama kalinya setelah 5 bulan, Yasmin berada di samping lelakinya.
Berada dekat sekali dengan Wawan yang kini menuntun jalannya.
--
Sidoarjo
masih panas saja. Tak ubahnya kota besar tetangganya, Surabaya, kota satelit
ini tak mau kalah dalam hal memproduksi hawa panas.
“Res, kok respon Yasmin begitu aja, sih waktu
aku dateng,” Wawan membuka pembicaraan. Di sore bolong, begini, mau apa lelaki
itu mengajak bertemu?
“Begitu
gimana?” Aku agak kaget dengan pernyataan Wawan barusan.
“Ya
biasa-biasa aja, gitu,”
“Emang harus gimana?”
“Ya gimana, gitu,kek,” Ah, lelaki, emangnya Yasmin harus apalagi?
batinku gemas.
“Masa’ iya Yasmin harus
bilang, Oh Cintaku, sayangku, akhirnya kau pulang jua setelah penantian panjang
di perantauan, atau,”
“OH EM JI!! Pacar gue udah
pulang! Double wow! Trus dia guling-guling di mal gitu?” Aku meneruskan
ocehanku.
“Stop Res, nggak cocok,
sumpah kon nggak cocok pake bahasa
elo-gue, lebay Res, Lebay!”
“Yoh, kamu yang lebay,
Wan,”
“Udah jelas Yasmin
kesengsem waktu kamu ada di belakang dia, mau bukti apalagi coba?”
“Yah, maksudnya….”
Kami terdiam sejenak. Di
sebuah terik di tempat tongkrongan paling yahud se-Sidoarjo. Aku bersama
seorang lelaki keras kepala di hadapanku. Menenggak sebotol teh sosro hingga
tandas. Sementara ia dengan polosnya mengunyah kebab tanpa menawariku sama
sekali.
“Gini, Res, aku cemburu,”
“Sama?” Aku tersedak
minumanku sendiri. Karena selain sebagai teman mereka berdua, aku juga
mempunyai rangkap jabatan sebagai pengawas gerak-gerak Yasmin ketika mereka
tengah dalam masa Long Distance
Relationship.
“Feri.” Ucap Wawan dengan
pandangan menerawang ke depan. Tapi, bila kulihat arah pandangannya, sebuah
gerobak bakso tanpa penghunilah yang dilihatnya kini.
“Aku nggak pernah tahu Feri
deket sama Yasmin lagi, bukannya dia udah punya pacar,ya?” Aku menanggapi
pernyataannya. Sedikit mengkhidmati suasana sepi sore ini.
Pazkul –pasar kuliner- teramat
sepi. Yah, memang aktifitas malam yang menjadi andalan tempat tongkrongan ini.
“Aku tahu, maksudnya,
perhatian Yasmin ke Feri dulu dibandingkan sama aku sekarang,” Wawan mencoba
menegakkan posisi duduknya.
“Aku masih belum nangkep
omongan kamu,” nadaku agak sinis.
“Gini, Res, aku iri sama
Feri, kamu tahu kan, dulu kisah mereka kayak gimana. Yasmin sering posting di
blog tentang Feri dan kayaknya Yasmin sayang banget sama Feri waktu itu,”
ungkap Wawan panjang lebar.
“Wan, terus sekarang dikira
Yasmin nggak sayang gitu sama kamu?!” Aku kesal setengah mati. Sungguh, apa
lagi sih yang diinginkan lelaki ini?
“Res, yah, nggak gitulah,”
“Ah, udahlah, wes mulih ae,” Aku beranjak dari tempat
duduk merahku. Mengambil kunci motor di atas meja mengkilat itu dan mencoba meninggalkan
lelaki yang duduk di bawah naungan kanopi.
“Res! Aku cerita ini biar
dapat solusi. Nggak ditinggal kayak gini!” Wawan meneriakiku yang telah berada
di atas motor.
“Lain kali aja,bro!”
--
Aku tahu kisah mereka di masa lalu. Feri dan
Yasmin di masa putih biru. Aku melihat Yasmin layaknya tengah terpesona
memperhatikan pangeran kuda putih versi KW Super. Feri tampak mengkilat-kilat
di hadapan Yasmin. Sebaliknya, Yasmin lebih terlihat seperti seekor kucing
kecil yang memburu majikannya. Ya, Yasmin suka sekali pada lelaki itu.
Yasmin yang jelita tentu
tak kenal dengan cinta bertepuk sebelah tangan. Feri juga menyukainya.
Tak ubahnya remaja SMP
kebanyakan, yang masih labil dan haus akan perhatian yang disebar di dunia
maya. Tentu Yasmin juga melewati masa itu. Ketika ia selalu memposting segala
bentuk kencannya dengan Feri, kado ulang tahun yang diberi, hingga ungkapan ‘I
Love You’ yang setiap hari diumbar.
Jadi, apakah perhatian yang
seperti itu yang diinginkan Wawan? Ah, aku tak habis pikir.
--
“Jadi, dia pengin aku jadi
alay kayak dulu lagi gitu?” Yasmin mencelos ketika kuceritakan pertemuanku
dengan Wawan tadi sore.
Resita, Wawan, dan Yasmin.
Entah sejak kapan kami berteman. Bukan teman sepermainan dekat rumah, bukan
pula teman TK atau SD yang terus berlanjut hingga remaja. Kami hanya tiga orang
teman yang dipertemukan Tuhan dan aku juga tak tahu sejak kapan aku rela
menjadi tempat sampah berjalan mereka berdua.
“Gini, Res, aku tiap hari
tumbuh,loh, sekarang aja udah 162 cm,” Aku mengangguk memperhatikan Yasmin yang
berjalan mondar-mandir di depanku.
“Aku nggak mungkin balik
jadi anak kecil lagi,kan? Kayak aku yang tumbuh, harusnya aku juga lebih
dewasa,kan,Res?”
Kami berada di kamar
Yasmin. Sebuah kamar kos yang tak terlalu besar. Namun cukup manis dengan balutan
warna pastel di beberapa perabotannya.
“Aku sayang Wawan,Res, tapi
masa iya aku harus jadi alay lagi?” akhirnya Yasmin mendudukkan diri di atas
ranjang. Ia menatap foto gadis itu dan Wawan yang terpampang manis di meja kecil
di sebelah meja belajar.
“Res,” Yasmin mendekat
kepadaku. Meraih punggungku dan memelukku erat. Seketika aku merasakan tetesan
air mata mengenai kain bajuku. Yasmin terisak. Aku hanya bisa menepuk-nepuk
punggungnya dan merasakan kesedihan mendalam disana.
Ah, Wawan!!!
--
Mereka seperti alien yang
saling tak mengenal. Seperti Autobots yang tak menyapa Decepticon, atau Harry
Potter yang tak ingin bertemu Dementor. Mereka saling merindu dalam diam,
memaki dalam kebekuan. Apa sih susahnya minta maaf? Yah, kuakui memang agak
susah melakukannya.
Kehadiran Wawan yang
harusnya 9 hari di Surabaya, terpaksa dikorting hingga mencapai 2 hari lebih
cepat. Alias seminggu!
Wawan merasa ia tak perlu
banyak waktu di Surabaya. Toh, ia tak dapat berinteraksi dengan manis bersama
kekasihnya. Tapi, itu salah dia sendiri. Siapa suruh punya sikap anak kecil
seperti itu?!
“Res, aku salah ya?”
“Bener, bener banget kamu
salah,”
“Kamu harus tahu cemburu
kamu itu nggak beralasan. Coba deh, pikir, yang seharusnya curiga ke kamu itu
Yasmin. Bukan kamu, Wan,”
“Kok gitu?”
“Disini Yasmin ada aku, aku
bisa bilang kalau dia selingkuh sama cowok lain. Tapi di Bandung? Siapa yang
Yasmin kenal? Siapa yang jamin kamu lurus-lurus aja waktu disana? Siapa yang
jamin kamu nggak bakal punya cewek lain?” Aku mencecar Wawan sepuasnya.
Wawan diam. Ia tak bisa
berkata apa-apa.
“Maaf,”
“Kamu harus ketemu Yasmin
sebelum pulang ke Bandung,” Aku beranjak memungut jaketku. Meninggalkan Wawan yang
masih berada disana.
--
“Yas, aku minta maaf,” Kali
ini mereka berdua tengah menghentikan waktu di tengah hiruk pikuk kondisi
bandara Juanda. Keduanya memiliki dunia sendiri di tengah lalu lalang
orang-orang disana.
Yasmin mengangguk kecil.
Tetap menatap Wawan yang berdiri tanpa koper, tak seperti orang-orang lainnya.
“Yas, aku minta maaf,” sekali
lagi ia meyakinkan gadis manis di hadapannya.
“Iya,” senyum Yasmin
simpul, tak dapat ia pungkiri, kekesalan itu masih sedikit meradang di hatinya.
“Yas, ketemu tahun baru,ya!”
Wawan berangsur pergi. Bayangan lelaki itu menghilang sejalan dengan Yasmin yang melangkahkan
kakinya untuk kembali ke rumah.
--
31 Desember 2013
Yasmin tak terlalu
mengsakralkan malam tahun baru. Yang ia lakukan sebelum-sebelumnya ketika ia
belum bertemu dan menghabiskan waktu dengan Wawan seperti tahun lalu, gadis itu
selalu berdiam diri di rumah. Menghabiskan beberapa makanan buatan ibunya dan
kemudian tidur pukul sepuluh. Pernah sekali ibunya membangunkan ketika tepat
perayaan tahun baru. Tapi, ia hanya keluar sebentar. Melihat langit berubah
menjadi lapangan bagi kembang api untuk menunjukkan keindahannya. Kemudian,
gadis itu akan kembali ke kasurnya. Lalu bangun di hari pertamanya, di bulan
Januari.
Begitu juga hari ini. Ia
tak terlalu berharap Wawan akan datang. Toh, kemarin lelaki itu bilang sangat
susah mencari tiket pesawat dengan keadaan mepet perayaan tahun baru.
“Selamat tahun baru!” Teet…teet..
“Apaan sih, Res! Berisik!”
“Tahu deh, yang tahun
baruan nggak sama Wawan, sensi amat,” aku menggoda Yasmin yang ketahuan
stalking akun twitter Wawan.
Pagi terakhir di tahun
2013. Aku sengaja untuk datang ke rumah Yasmin saat itu. Sekadar untuk bermain
atau bersiap mendengarkan curhatannya mengenai Wawan. Tapi, hari ini aku tak
melihat tanda-tanda bahwa gadis itu akan mencurahkan isi hatinya padaku.
“Yas, jangan galau, dong,”
“Nggak galau,kok,”
“Pinjem hape,ya?” Yasmin
menyodorkan iPhone miliknya. Sementara ia menyibukkan diri menggonta-ganti
saluran televisi.
Seperti biasa, aku selalu
memainkan hewan peliharaanku disana. Pow yang ada di hape Yasmin telah aku
adopsi mengingat gadis itu sama sekali tak pernah menyentuh makhluk yang mirip
gundukan pup itu.
Di tengah-tengah usahaku
untuk membersihkan badan pow dari kotoran. Aku merasa ada tanda-tanda pesan
masuk disana.
“Eh, Yas, ada sms nih,”
Yasmin segera mencomot hapenya dari tanganku. Aku hanya bisa geleng-geleng
kepala.
Tak lama kemudian, aku
melihat raut cerah dari muka Yasmin. Wajahnya berseri-seri, mendung yang
sebelumnya tepat berada di atas kepalanya sirna sudah. Tergantikan pelangi
dipadu dengan burung-burung yang beterbangan kesana kemari. Ah, kurasa aku
salah mendeskripskian bagian ini.
--
“Aku udah laper,” Wawan
menepuk-nepuk meja di hadapannya. Sementara, Yasmin tersenyum melihat lelaki di
hadapannya.
“Kamu kenapa senyum-senyum?
Kangen,ya?” Wawan kini ikut tersenyum.
“Apaan sih? Oh,ya emang
kamu pesen apa?”
“Nasi goreng jancuk.”
“Nggak salah? Itu porsinya
gede banget,loh,”
“Tenang aja,” Wawan
memasang wajah paling tenang untuk menghilangkan raut kekhawatiran di wajah
Yasmin.
Kini Yasmin mendapatkan
lelakinya. Kebersamaan keduanya bukan lagi ilusi mata.
“Mas, ini buat orang 10
loh,” salah satu pelayan terheran-heran ketika hanya ada Yasmin dan Wawan yang
memesan nasi goreng popular di penjuru Surabaya itu.
Mata Yasmin membelalak
hebat melihat porsi nasi goreng yang memang pantas dihabiskan oleh 10 orang
bahkan lebih. Apalagi, gadis itu tak begitu suka masakan pedas. Jadi,
satu-satunya pengharapan hanyalah perut Wawan yang seperti karet.
“Wan? Ini banyak banget,
serius,” Yasmin menatap Wawan yang mulai kalap dengan nasi goreng di hadapannya.
“Mwakwan ajwa,” mulut Wawan
telah dipenuhi nasi goreng. Lelaki ini tak tahu ya, nasi goreng ini punya
tingkat kepedasan yang maksimal. Ah, urusan perut tak ada yang dapat menebak.
Benar saja, Yasmin hanya
mengambil beberapa sendok dari limpahan nasi goreng dengan potongan ayam di
hadapannya. Sementara, Wawan tergeletak di tempat duduknya dengan sisa nasi goreng
yang tinggal seperempat.
Keduanya akhirnya
meninggalkan tempat itu ketika Wawan berhasil disadarkan. Meski langkahnya
masih terhuyung-huyung keduanya tetap berjalan menjauh meninggalkan hotel plaza
Surabaya dengan tawa yang tak kunjung sudah.
--
Ini malam tahun baru.
Ramainya minta ampun. Keduanya berjalan-jalan mengelilingi kota Surabaya.
Hitung-hitung meringankan beban perut yang diderita Wawan. Mengkhidmati kerlip
lampu dari sudut-sudut jalan hingga nuansa taman bungkul yang tak pernah sepi
dari pengunjung.
Yasmin berjalan beriringan.
Menatap Wawan yang mulai dapat berjalan tegak setelah setengah jam berkeliling.
“Kita kemana lagi?”
“Nggak tahu, kemana ya?”
Wawan menepuk-nepuk perutnya yang baru saja terbebas dari derita.
Malam tahun baru tinggal
menyisakan beberapa jam lagi. Sementara keduanya memilih untuk duduk di tepi
jalan dan melihat lalu lalang motor yang mengisi jalanan.
“Yas,
maafin aku soal yang dulu,ya,”
“Yang
mana?”
“Maaf aku
bersikap kayak anak kecil,” pancaran mata Wawan terlihat sangat jujur di mata
Yasmin.
“Tapi
kamu lucu juga, cemburu sama aku yang dulu,” Yasmin tersenyum. Memain-mainkan
kedua kakinya yang mengayun ketika keduanya tengah duduk di kursi panjang saat
ini.
“Maaf kalau
aku pengin kamu jadi anak kecil, tapi aku bersyukur bisa jatuh cinta sama
Yasmin yang udah dewasa, senggaknya Yasmin yang sedang tumbuh,” Yasmin terdiam.
Pipinya merona ketika kata-kata itu meluncur dengan lancarnya dari mulut Wawan.
“Yas, aku
sayang kamu,”
“Aku
juga,” mereka berdua tetap bergeming setelah itu. Tak ada interaksi yang
terjalin di antara keduanya. Yasmin dan Wawan mencoba mengkhidmati kembang api
yang mulai menunjukkan digdayanya melalui suaranya yang menggelegar. Seperti
perasaan mereka berdua yang layaknya kembang api. Warna-warni, penuh kejutan.
10..9…8..
Hitung mundur
sudah diteriakkan orang-orang di sekitar mereka. Kedua matanya hanya saling bertemu
pandang. Ini saatnya untuk ikut menghitung mundur.
“Wan,
sini!” Yasmin menyeret Wawan mendekat padanya.
“Hah?
Apa?”
1,2,3! Cekrik!
Yasmin memotret
dirinya dan Wawan dengan iPhone miliknya. Senyum khas mereka berdua dengan gaya
seperti foto selfie kebanyakan.
“Lucu,ya!”
Yasmin memperlihatkan hasil jepretannya pada Wawan yang menatapnya kebingungan.
“Bagus,kok,
ini buat apa?”
“Biar
kamu nggak iri sama Feri, aku mau buktiin aku juga bisa alay sama kamu,” Yasmin
tersenyum genit melihat rona wajah Wawan yang memerah.
“Aku post di Instagram ya, nih, with my love in our NYE’s party, Wawan!”
Yasmin dan Wawan, keduanya
tersipu malu. Kemudian meledaklah tawa, sebuah tawa untuk menertawakan diri
mereka sendiri.
Tak
terasa hitungan mundur itu telah usai sedari tadi. Yang ada hanya suara
terompet disana-sini.
“Eh, udah tahun baru?”
Keduanya akhirnya sadar.
“Selamat tahun baru!!!”
teriak Yasmin dan Wawan bersamaan.
END
Comments
Post a Comment