"Sini, ikut aku lihat langit." Gadis itu menyeret seorang gadis lainnya, membawanya ke sebuah beranda rumah dengan pilar marmer yang tak terlalu besar. Kedua gadis itu akhirnya memilih untuk mendaratkan diri pada ubin persegi yang dingin dan keduanya tanpa memakai alas kaki. Kali ini, sepertinya bukan langit yang akan mereka lihat. Tentu saja, langit tertutup awan mendungnya yang perkasa, awan yang bergerak cepat hingga pandangan mata tak sanggup mengejarnya.
Hujan mulai turun dengan sempurna, membasahi apa saja yang ada di atas tanah. Meski begitu, keduanya enggan beranjak dari tempat mereka sekarang, meski air hujan sesekali memercikkan butiran-butirannya pada kain yang mereka kenakan. Ya, mengapa harus menghindari hujan bila memang pada awalnya ingin melihatnya?
Aliran air yang lewat di sebuah saluran tepat di depan mereka membuat salah seorang gadis mengajukan permintaan.
"Ayo buat perahu kertas!" Seru salah seorang gadis. Tanpa waktu lama, gadis itu meluncur ke dalam bangunan di belakang mereka, pergi mencari secarik kertas yang akan dikorbankan untuk mengarungi aliran air.
Dengan secarik kertas yang dibawanya, ia menyerahkannya pada gadis lain yang tadi mengajaknya kemari. Gadis itu tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan sebuah origami perahu kertas. Dengan tangan yang sedikit basah disambangi hujan, perahu kertas itu memang tak sekuat biasanya.
"Dilarung ya!" Seru seorang gadis yang sedari tadi memandang langit sembari menunggu perahu itu jadi.
"Tunggu! Aku doain dulu." Gadis lain menutup mata, berdoa -lebih tepatnya berharap-
Tapi, tunggu.... tak sampai 10 senti, perahu kertas itu berhenti. Ia mulai rusak karena terjangan air hujan dan karena kertas yang tak cukup kuat dari awal.
Perahu kertas itu akhirnya hancur. Rusak di tempatnya. Di depan bangunan itu. Tak berubah. Tak berpindah tempat ke tempat yang lebih luas.
Gadis itu menatap pada perahu kertas karyanya, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
Hujan mulai turun dengan sempurna, membasahi apa saja yang ada di atas tanah. Meski begitu, keduanya enggan beranjak dari tempat mereka sekarang, meski air hujan sesekali memercikkan butiran-butirannya pada kain yang mereka kenakan. Ya, mengapa harus menghindari hujan bila memang pada awalnya ingin melihatnya?
Aliran air yang lewat di sebuah saluran tepat di depan mereka membuat salah seorang gadis mengajukan permintaan.
"Ayo buat perahu kertas!" Seru salah seorang gadis. Tanpa waktu lama, gadis itu meluncur ke dalam bangunan di belakang mereka, pergi mencari secarik kertas yang akan dikorbankan untuk mengarungi aliran air.
Dengan secarik kertas yang dibawanya, ia menyerahkannya pada gadis lain yang tadi mengajaknya kemari. Gadis itu tak butuh waktu lama untuk menyelesaikan sebuah origami perahu kertas. Dengan tangan yang sedikit basah disambangi hujan, perahu kertas itu memang tak sekuat biasanya.
"Dilarung ya!" Seru seorang gadis yang sedari tadi memandang langit sembari menunggu perahu itu jadi.
"Tunggu! Aku doain dulu." Gadis lain menutup mata, berdoa -lebih tepatnya berharap-
Semoga rasa yang tumbuh ini akan mengalir, ikut bersama aliran air ini. Jauh,jauh ke sumbernya. Ke tempat yang lebih luas. Amin.
Dengan sigap perahu kertas itu mengalir bersama dedaunan kecil. Melakukan ekspedisi di atas aliran air hujan yang jernih.Tapi, tunggu.... tak sampai 10 senti, perahu kertas itu berhenti. Ia mulai rusak karena terjangan air hujan dan karena kertas yang tak cukup kuat dari awal.
Perahu kertas itu akhirnya hancur. Rusak di tempatnya. Di depan bangunan itu. Tak berubah. Tak berpindah tempat ke tempat yang lebih luas.
Gadis itu menatap pada perahu kertas karyanya, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya.
"Jadi, apakah perasaan ini akan berakhir di tempat ini juga? Di tempat dimana aku memulainya. Apakah perasaan ini tak bergerak? Tak berubah? Akankah hilang sendirinya, di tempat pertama kali aku menemukannya? Mungkin saja."
Comments
Post a Comment