Aku baru saja
melepas keberangkatan anakku ke sekolahnya. Sebelumnya, ia tak berkata apapun
dan hanya mencium tanganku. Aku sangat mencintainya, seperti sebuah permata
yang akan selalu ku jaga, meski terkadang ia bukan seorang anak yang begitu
penurut.
Anakku memang tak
sebegitu ekspresif saat mengucapkan kata-kata di saat sang waktu merangkai diri
dan membentuk ritme sebuah tahun. Di
saat seperti itu, kami hanya makan bersama dan ia mencium pipiku. Meski begitu,
ku rasa itu cukup.
Aku mengamati
meja belajarnya, meja penuh dengan lembaran kertas dan pena. Prestasinya di
sekolah sudah membuatku bangga dan ia telah menjadi pengharum nama bagi
keluarga kami. Entah mengapa, hari ini aku ingin menyusuri tempat ia belajar
hingga akhirnya ku temukan sebuah botol yang sudah familiar bagiku.
Botol selai
coklat. Aku teringat, aku selalu ingin membelinya namun uangku tak selalu
cukup. Kebutuhan kami sangat mendesak jika dibandingkan dengan membeli sebuah
selai coklat.
Aku mengamati
sebuah kertas yang tertempel disana.
“Ibu
menginginkannya bukan? Di hari spesialmu, maaf jika aku hanya dapat memberimu
selai coklat ini. Semoga hari-hari Ibu akan selalu manis seperti coklat ini!
Terus rawat aku ya, Bu! –Anakmu”
Nanar. Kaca
bening di mataku pecah dan menjadi butiran air yang menetes satu persatu.
Comments
Post a Comment